Salah satu persoalan adalah lemahnya kontrol terhadap aktivitas digital penyelenggara perjalanan ibadah. Banyak penyelenggara memanfaatkan platform media sosial untuk pemasaran, namun tanpa pengawasan yang memadai. Akibatnya, risiko pelanggaran seperti penyebaran informasi palsu atau tidak sesuai aturan semakin meningkat. Untuk mengatasi hal ini, Kemenag dan Kemkomdigi telah membentuk tim khusus yang bertugas memantau aktivitas digital dan menutup akun yang terbukti melanggar regulasi. Meski demikian, cakupan ruang digital yang sangat luas dan keterbatasan sumber daya menjadi tantangan tersendiri dalam pengawasan ini.
Di sisi lain, praktik ilegal seperti penjualan visa non-haji atau penyalahgunaan sistem Siskopatuh juga menjadi masalah serius. Data Kemenag mengindikasikan adanya pelanggaran berupa paket haji tidak resmi hingga penggunaan visa palsu yang merugikan jamaah hingga miliaran rupiah setiap tahun. Untuk menindaklanjuti, pemerintah akan mengaktifkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen PHU mulai Januari 2025. PPNS ini diberi kewenangan layaknya aparat kepolisian untuk menangani pelanggaran hukum terkait.
Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menemukan indikasi bahwa beberapa jamaah tidak kembali ke Indonesia usai melaksanakan ibadah, bahkan terhubung dengan jaringan terorisme internasional. Situasi ini membutuhkan pendekatan lintas sektor dan sinergi lebih kuat untuk mencegah risiko yang lebih besar.
Penyelenggara ibadah seperti PPIU/PIHK dituntut untuk menerapkan tata kelola yang baik. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pedoman utama dalam memberikan pelayanan kepada jamaah. Informasi yang diberikan harus jelas, perlindungan asuransi harus sah, dan pengelolaan rekening penampungan dana jamaah harus sesuai ketentuan. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini tidak hanya merugikan jamaah, tetapi juga mencoreng citra penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara keseluruhan.
Sebagai langkah antisipasi, evaluasi kebijakan secara rutin sangat diperlukan. Pelatihan kepada PPNS harus dioptimalkan untuk meningkatkan profesionalisme, sementara aturan baru perlu disosialisasikan secara intensif kepada penyelenggara. Di sisi lain, pemanfaatan teknologi seperti blockchain dapat menjadi solusi efektif untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan dana jamaah.
Kerja sama antara pemerintah, perbankan, dan penyedia asuransi juga harus diperkuat untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi jamaah. Pengawasan terhadap rekening penampungan harus diperketat untuk mencegah penyalahgunaan dana. Selain itu, asuransi perjalanan yang terintegrasi dapat memberikan rasa aman, baik dalam hal kesehatan maupun risiko lainnya yang mungkin muncul selama perjalanan ibadah.
Penulis: Muhammad Syahru Ramadhan
Bagus sekali infonya, jadi lebih hati-hati kalau mau pilih travel
BalasHapusMasyaaAllah, terimakasih infonya
BalasHapus