MediaKopid.com, Bandung- Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-healing telah menjadi salah satu tren yang paling sering dibahas di media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter dipenuhi dengan konten bertema self-healing, mulai dari kutipan motivasi, video meditasi, hingga tutorial journaling. Fenomena ini mengundang berbagai respons, dari mereka yang merasa terbantu hingga yang menganggapnya sebagai sekadar tren semu. Pertanyaannya, apakah self-healing di media sosial benar-benar solusi, atau hanya ilusi?
Media sosial memiliki daya tarik besar karena aksesibilitasnya. Informasi tentang teknik self-healing seperti mindfulness, journaling, dan meditasi kini dapat diakses hanya dengan beberapa kali geser layar. Bagi banyak orang, terutama mereka yang memiliki keterbatasan finansial atau kesulitan mengakses layanan profesional seperti psikoterapi, konten self-healing di media sosial bisa menjadi langkah awal yang bermanfaat.
Saya sendiri sebagai mahasiswa mengakui bahwa, media sosial juga memberikan ruang bagi saya untuk berbagi beberapa pengalaman saya agar orang bisa mempelajari hal yang sama. Adapun komunitas online terutama di X atu Twitter yang mendukung bisa menjadi sumber inspirasi dan validasi emosi masing-masing orang, yang mana sangat penting dalam proses pemulihan diri. User media sosial dapat merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi masalah mereka, yang pada gilirannya dapat memberikan dorongan positif.
Namun, tidak semua konten self-healing di media sosial memiliki dampak positif. Ada risiko bahwa pesan-pesan ini justru menciptakan tekanan baru. Alih-alih menjadi solusi, self-healing yang dipopulerkan di media sosial sering kali dipaketkan dalam estetika sempurna: suasana kamar yang rapi, lilin aromaterapi, atau momen meditasi di tempat-tempat eksotis. Hal ini dapat memunculkan standar baru yang tidak realistis biasanya orang-orang sebut Standar Tiktok, sehingga menimbulkan perasaan tidak cukup baik bagi mereka yang tidak mampu mencapainya.
Selain itu, self-healing memerlukan proses yang mendalam dan personal. Mengandalkan konten media sosial saja tidak cukup untuk menggantikan bantuan ahli atau profesional. Banyak kasus kesehatan mental yang kompleks membutuhkan terapi atau intervensi yang lebih terstruktur. Menganggap konten self-healing sebagai satu-satunya solusi justru bisa menunda atau menghalangi individu mencari bantuan yang sebenarnya mereka butuhkan.
Jadi apakah ini Solusi atau Ilusi?
Pada akhirnya menurut saya, efektivitas self-healing di media sosial tergantung pada bagaimana cara pengguna memanfaatkannya. Media sosial dapat menjadi solusi awal, tetapi tidak bisa menjadi satu-satunya jawaban. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa self-healing adalah perjalanan yang unik bagi setiap individu dan tidak bisa diseragamkan oleh tren atau algoritma platform digital khusus nya Tiktok.
Bagi saya self-healing di media sosial seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan aksesibilitas dan inspirasi, tetapi di sisi lain, ia dapat menciptakan ekspektasi palsu yang kontraproduktif. Sebagai salah satu pengguna, kita perlu bijak dalam memanfaatkan tren ini, menjadikannya sebagai pelengkap, bukan pengganti, dalam perjalanan menuju pemulihan diri.
Penulis: Husna Oktavia// KPI 5B
Tidak ada komentar
Posting Komentar