Menelusuri Jejak Raja Teh Priangan, Rumah Bersejarah Bosscha di Tengah Kebun Teh Malabar

Mediakopid.com, Bandung - Saat mendengar nama Bosscha, kebanyakan orang langsung teringat Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung Barat. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa K. Albert Rudolf Bosscha, pemilik perkebunan teh Malabar di Pangalengan, Bandung, juga memiliki rumah di kawasan Pangalengan. Lahan perkebunan miliknya yang luas mencapai lebih dari 2.000 hektare membuatnya dijuluki "Raja Teh Priangan". Alam Buchori Muslim mengatakan bahwa Kecintaan K. Albert Rudolf Bosscha pada tanah Malabar bahkan membuat Bosscha berwasiat agar jasadnya disemayamkan di antara pepohonan teh perkebunannya, tak jauh dari rumahnya di Kampung Pintu, Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Rumah peninggalan Bosscha yang berdiri sejak tahun 1896 ini memiliki luas 550 meter persegi, dikelilingi pepohonan rindang dan taman-taman indah yang cocok untuk piknik dan bersantai. Dominasi material kayu dan batu hitam memberikan nuansa alamiah pada bangunan bergaya arsitektur Eropa ini, yang terlihat dari keberadaan cerobong asap di bagian luar. Di dalamnya, berbagai barang peninggalan Bosscha tertata rapi, termasuk piano Zeitter & Winkelmann yang klasik buatan tahun 1837 yang masih dapat dimainkan. Ada pula meja makan kuno, sofa, meja bundar, dan lampu hias yang memberikan kesan seolah membawa pengunjung ke masa lampau.

Rumah ini sudah mengalami beberapa kali renovasi, terutama saat masa penjajahan Jepang pada tahun 1942 dan setelah terjadinya Gempa Pangalengan. Di bagian rumah, terdapat prasasti beraksara Sunda yang berbunyi, "Rumah ini dibangun pada tahun 1896 oleh K. A. R Bosscha." Dengan tiket masuk hanya Rp5.000 dan biaya parkir sebesar Rp5.000, mengunjungi rumah ini merupakan pilihan terjangkau. Penginapan di sekitar rumah bergaya rumah panggung dengan desain modern yang estetis juga tersedia, menawarkan pemandangan perkebunan teh yang asri dan udara sejuk yang segar.

Reporter : Farhan Habibi

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Vokaloka 2024